Ujian Nasional baru saja usai. Begitu panjang dan berliku proses dalam pelaksanaan UN sekarang. Seperti UN sebelumnya, penerapan Standar Kelulusan yang tinggi sekitar 5,5 untuk SMP/SMA tak ayal membuat peserta didik dibuat stress duluan. Mereka harus memaksimalkan daya ingat akan materi yang telah diperoleh di sekolah. Bahkan di tempat saya kerja, diadakan pengajian bersama setiap harinya. Hal ini dimaksudkan untuk penguatan mental bagi peserta didik agar tetap fokus dalam menghadapi UN. Hampir tidak dapat dipercaya, kebijakan pemerintah yang terkadang tidak konsisten dari setiap pergantian kepemerintahan berdampak pada psikologis siswa didik. Siswa terkadang hanya dijadikan obyek uji coba dari sebuah kebijakan-kebijakan baru pemerintah. Hal ini hanya akan menjadi persoalan rutin setiap tahunnya.
Walaupun sudah dilakukan antisipasi dengan diadakan Pendalaman Materi (PM), namun tidak sedikit siswa dan guru yang masih memiliki rasa kurang percaya diri. Akibatnya, jalan pintaspun berlaku, seperti biasa jurus contek mencontekpun dilakukan bahkan kunci jawabanpun didapat dengan mudahnya. Sangat ironis memang, di dunia pendidikan yang seharusnya syarat dengan nilai-nilai moral dan kejujuran, namun seakan tak berlaku jika dihadapkan pada UN. Kecurangan-kecurangan yang terjadi merupakan potret dari lemahnya sistem UN yang diterapkan pemerintah. Ini merupakan dilema tersendiri, di satu sisi sekolah mempunyai target kelulusan bagi siswanya di sisi lain bahwa merekapun dihadapkan pada Standar Kelulusan UN yang diterapkan pemerintah. Bahkan menurut teman saya, bahwa kecurangan yang dilakukan merupakan “rahasia umum” dan seakan sudah menjadi hal yang lumrah terjadi di dunia pendidikan. Sehingga pemerintah harus melibatkan kepolisian untuk mengawasi UN untuk menghindari terjadinya kecurangan. Namun ibaratnya tikus lebih pandai mencari lobang daripada kucing. Seperti berita-berita yang saya baca sebelumnya di koran kecuranganpun tetap melenggang. Miris rasanya, apalah arti sebuah kuantitas kalau tidak dibarengi dengan kualitas ? Bukankah hanya akan melahirkan generasi-generasi serba instan yang selalu melakukan berbagai cara tanpa melihat cara tersebut patut atau tidak demi tercapainya sebuah tujuan.
Semoga saja, dunia pendidikan ke depan dapat menemukan bentuk yang ideal yang bisa diterapkan demi terwujudnya tunas-tunas bangsa yang berkualitas baik secara intelektual maupun moralitasnya. Agar tidak kita lihat lagi pejabat-pejabat korup yang pandai secara akademik namun bobrok secara akhlaknya sehingga mengabaikan ilmunya untuk kemajuan bangsanya. Amin …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar